Nyeri merupakan istilah yang sudah ada sejak manusia diciptakan.
Aristoteles, seorang filusuf, menyatakan bahwa nyeri berasal dari kuasa
roh jahat yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui terjadinya luka atau
cedera. Bahkan, dia juga menyatakan bahwa nyeri bukanlah sekadar
sensasi yang dirasakan, melainkan merupakan suatu curahan jiwa (emosi)
yang secara tegas dinyatakan oleh manusia. Ada begitu banyak mitos yang
tidak benar mengenai nyeri sehingga perlu untuk diluruskan.
Berikut
adalah 7 (tujuh) mitos seputar nyeri yang berkembang selama ini seperti
dipaparkan oleh dr Dwi Pantja Wibowo, SpAn KIC dari Rumah Sakit Premier
Bintaro:
1. Bayi dan neonatus tidak merasakan nyeri. Faktanya,
ketika bayi dilahirkan, komponen saraf sesungguhnya sudah berkembang
cukup baik, mulai dari perifer sampai sentral. Nyeri berkepanjangan pada
bayi akan meningkatkan risiko morbiditas (kematian). "Kita yang
seharusnya lebih belajar memahami nyeri pada bayi karena bayi juga bisa
merasakan nyeri," ujar Pantja.
2. Sulit melakukan pengukuran nyeri pada bayi.
Faktanya, untuk mengetahui nyeri pada bayi dapat dilakukan dengan
beberapa metode pengukuran khusus. Salah satu metode pengukurannya
dengan melihat gerak-gerik, ekspresi wajah, dan irama jantung. Pantja
mengungkapkan, bila nyeri pada bayi tidak segera diobati dan berlangsung
dalam waktu lama, maka dampaknya setelah ia besar akan berubah jadi
kepribadian orang yang berbeda.
3. Bayi tidak dapat diberikan opioid (obat golongan narkotika). Faktanya,
menurut Pantja, banyak tenaga kesehatan yang ragu atau takut untuk
memberikan obat golongan narkotika pada bayi dengan alasan kecanduan dan
henti napas. Padahal, banyak obat analgetika yang bisa diberikan kepada
bayi asalkan berdasarkan indikasi dan dosis yang tepat. "Penggunaan
opioid secara benar tidak akan menyebabkan kecanduan, kecuali dikonsumsi
tanpa nyeri dan dalam waktu lama," katanya.
4. Sulit mengukur nyeri pada pasien sakit kristis.
Faktanya, beberapa metode pengukuran untuk pasien sakit kritis yang
tak bisa berkomunikasi telah dikembangkan dan dilakukan validasi, di
antaranya dengan CPOT dan BPS. Metode pengukuran Critically III Pain
Observation Tools (CPOT) menggunakan 4 parameter, yakni ekspresi wajah,
gerakan ekstremitas aktif, gerakan ekstremitas pasif, dan vokalisasi.
Sedangkan metode Behaviour Pain Scale (BPS) menggunakan 3 parameter,
yakni ekspresi wajah, gerakan ekstremitas, dan vokalisasi.
5. Nyeri tidak dapat dihilangkan karena berguna untuk diagnosis.
Faktanya, sampai batas tertentu nyeri memang bermanfaat untuk membantu
membuat diagnosis penyakit, tetapi nyeri yang berkepanjangan akan
menyebabkan efek buruk pada sistem organ lain. Bila diperlukan untuk
diagnosis maka sebaiknya segera didokumentasikan secara akurat.
Diagnosis juga bisa menggunakan alat bantuan lain seperti ultrasound atau lainnya.
6. Pasien pascabedah selalu mengeluhkan nyeri.
Faktanya, kendati nyeri pascabedah merupakan sesuatu yang dianggap
lumrah, pendekatan yang dilakukan sebelum pembedahan melalui edukasi
maupun pemberian analgetika preemtif serta penggunaan analgetika yang
adekuat seperti dengan menerapkan multimodal analgesia dapat mengurangi
nyeri pascabedah.
7. Pasien melahirkan pasti mengalami nyeri hebat, dan bila tidak kuat menghadapinya dapat dilahirkan melalui pembedahan.
Faktanya, nyeri bersalin adalah bagian penting dari perjalanan
persalinan karena pada saat yang sama terjadi proses inflamasi yang
dibutuhkan untuk persalinan normal. Namun, nyeri yang berlebihan atau
yang tidak mampu dikuasai oleh pasien dapat dikendalikan dengan
melakukan edukasi dan tindakan intervensi blok saraf spinal (ILA). ILA
adalah pemberian analgetik lokal pada pasien saat persalinan dengan cara
disuntikkan di punggung.
"Kalau alasan hanya gara-gara takut nyeri terus di-sectio (operasi caesar), buat kami praktisi nyeri rasanya kok salah ya. Seharusnya yang diatasi adalah nyerinya, bukan malah sectio. Kalau masih bisa melalui persalinan normal, kenapa harus sectio," katanya.
Source : http://health.kompas.com/read/2012/06/25/07542166/7.Mitos.Seputar.Nyeri