Mi Instan adalah mi yang sudah dimasak
terlebih dahulu, sehingga untuk menyajikannya hanya dengan direndam
dengan air panas saja sudah bisa. Benar-benar praktis. Mi instan terbuat
dari tepung gandum. Keberadaan gluten (protein) membuat mi instan
memiliki tekstur yang tidak mudah patah walau direbus.
Saat ini, Indonesia adalah produsen mi
instan yang terbesar di dunia. Dalam hal pemasaran, pada tahun 2005
Tiongkok menduduki tempat teratas, dengan 44,3 milyar bungkus, disusul
dengan Indonesia dengan 12,4 milyar bungkus dan Jepang dengan 5,4 milyar
bungkus. Namun Korea Selatan mengonsumsi mi instan terbanyak per
kapita, dengan rata-rata 69 bungkus per tahun, diikuti oleh Indonesia
dengan 55 bungkus, dan Jepang dengan 42 bungkus. Mi instan memang sudah
menjadi primadona bagi masyarakat Indonesia.
Sampai saat ini, para orang tua bahkan
sebagian dokter masih khawatir dan takut akan bahaya mi instan. Padahal
berkali-kali BPOM mengatakan mi instan dijamin aman, pengawetnya aman
dan tidak berbahaya dikonsumsi dalam jumlah tertentu atau kewajaran.
Tetapi inilah keunikan klasik masyarakat Indonesia, masyarakat sangat
fobi dengan mi instan kemasan yang sudah berstandar Internasional tetapi
tidak khawatir dengan mi produksi lain berupa mi tradisonal dan mi
kemasan “home product” lainnya yang masih tidak diketahui jenis dan
jumlah bahan pengawetnya.
Makanan favorit masyarakat ini selalu
saja setiap waktu dihantui ketakutan berlebihan. Bukan kali ini saja
penggemar mi instant dicekam berita yang mengkhawatirkan. Meski
berkali-kali badan POM menjelaskan bahwa mi instant aman, tetapi seperti
sebelumnya berbagai berita yang tidak jelas tetap sering dituding bahwa
mi instan mengandung lilin, menyebabkan operasi pemotongan usus dan
berbagai hal menyeramkan lainnya. Anehnya, orangtua tampaknya tetap
merasa aman dengan mi industri lain yang juga banyak dikonsumsi untuk
rumah makan, restoran dan penjaja mi goreng keliling. Padahal produk mi
instant diawasi ketat melalui standarisasi internasional yang ditetapkan
Codex Alimentarius Commission (CAC), sedangkan produk lainnya tersebut
belum tentu mengikuti standarisasi yang ketat.
Justru mi buatan “home industry” yang
dijual di pinggir jalan, di pasar tradisional atau bahkan dijual di
super market saat ini tidak ada yang tahu jumlah dan jenis bahan
pengawetnya. Apakah berbhaya atau tidak ? Padahal faktanya sudah banyak
dijumpai mi seringkali dicampur pengawet makanan yang berbahaya seperti
borax atau formalin. Bahkan sudah sering disaksikan di media masa
petugas kepolisian menggerebek “home Industri” pembuat mi yang
menggunakan bahan berbahaya. Padahal pabrik tersebut sudah puluhan tahun
beroperasi dan memproduksi sangat bannmyak mi yang dikonsumsi oleh
banyak masyarakat tidak disadari. Belum lagi zat warna yang digunakan
saat ini tidak ada yang mengetahui apakah jenisnya berbaya atau tidak.
Justru zat warna yang kuning terang itu biasanya menggunaklan zat warna
yang berbahaya. Sekali lagi, masyarakat tidak pernah trauma bahkan
sangat lahap makan mi seperti itu, tetapi sebaliknya masyarakat sangat
trauma dengan mi instan. Padahal mi instan tertentu yang sudah
berstandar Internasional selalu menerapkan prinsip aman dalam
berproduksi. Sehingga jelas tahu komposisi kandanungan bahan yang
digunakan dan dijamin aman karena sudah diirekomendasikan oleh instansi
tertentu yang berwenang dan kredibel.
Bahan pengawet
Sebenarnya penggunaan pengawet makanan
dalam industri makanan adalah hal yang biasa. Dapat dikatakan hampir 90%
industri makanan kemasan tidak terlepas dalam penggunaan bahan
pengawet. Bahkan penggunaan bahan pengawet makanan berbagai industri
makanan yang tidak mencantumkan label BPOM mungkin justru malah lebih
menyeramkan. Tetapi, bila isu ini mengusik keamanan mi instan akan
semakin menghebohkan karena mi instan adalah merupakan salah satu
makanan instant yang paling banyak dikonsumsi.
Penggunaan mi instan pada usia anak
cukup tinggi. Karena sekitar 30% anak usia di bawah 9 – 12 tahun
mengalami gangguan mengunyah dan menelan. Pada kelompok anak seperti ini
seringkali mengalami pilih-pilih makanan. Biasanya, anak-anak tidak
menyukai makanan yang sulit dikunyah dan ditelan seperti makanan
berserat keras seperti sayur, daging sapi dan nasi. Sebaliknya makanan
yang tidak berserat seperti mi, telor, nugget , biskuit, krupuk dan
makanan crispy lainnya lebih banyak digemari. Hal inilah tampaknya yang
mendasari mengapa pada anak-anak lebih sering mengkonsumsi mi.
BPOM sudah mengumumkan bahwa memang mi
instan di pasaran beberapa di antaranya memakai bahan pengawet methyl
p-hydroxybenzoate dan benzoic acid. Sebenarnya bahan pengewet tersebut
sebenarnya masih aman dan diperbolehkan digunakan dalam kadar tertentu.
Dalam industri makanan modern saat ini, diperlukan penggunaan teknologi
pengawetan pangan untuk membuat makanan menjadi tahan lama dan tetap
berkualitas, Salah satu dari beberapa teknik pengawetan pangan adalah
memberikan bahan tambahan pangan (BTP) untuk pengawetan, hal ini
dilakukan dengan menambahkan suatu bahan kimia tertentu dengan jumlah
tertentu yang diketahui memiliki efek mengawetkan dan aman untuk
dikonsumsi manusia.
Jenis dan jumlah pengawet yang diijinkan
untuk digunakan telah dikaji keamanannya. Indonesia menganut
Standarisasi internasional yang ditetapkan Codex Alimentarius Commission
(CAC). Forum CAC (Codex Alimentarius Commission) merupakan organisasi
perumus standar internasional untuk bidang pangan. Berbagai produk dan
industri makanan yang ada di Indonesia harus dibuat berdasarkan CAC.
Menurut Permenkes No.722/1988, bahan pengawet yang diizinkan digunakan dalam makanan dalam kadar tertentu adalah Asam Benzoat, Asam Propionat, Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Metil p-Hidroksi Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalium Nitrat, Kalium Nitrit, Kalium Propionat, Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium Sorbat, Natrium Benzoat, Metil-p-hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium Sulfit, Nisin dan Propil-p-hidroksi-benzoit.
Salah satu bahan tambahan yang diatur adalah nipagin (methyl p-hydroxybenzoate) yang berfungsi sebagai pengawet dengan batas maksimum penggunaan. Selain Nipagin, ada beberapa jenis pengawet lain yang diizinkan BPOM untuk digunakan dalam mie instan misalnya asam benzoat dan propeonat. Methylparaben nama teknisnya methyl p-hydroxybenzoate (disebut juga methyl parahydroxybenzoate) juga terdapat dalam makanan instant dan makanan lainnya. Untuk makanan seperti mie instan, asalkan tidak melebihkan kadar maksimum yang ditentukan Badan POM, yakni 250 mg per kg.
Menurut Permenkes No.722/1988, bahan pengawet yang diizinkan digunakan dalam makanan dalam kadar tertentu adalah Asam Benzoat, Asam Propionat, Asam Sorbat, Belerang Dioksida, Metil p-Hidroksi Benzoat, Kalium Benzoat, Kalium Bisulfit, Kalium Meta Bisulfit, Kalium Nitrat, Kalium Nitrit, Kalium Propionat, Kalium Sorbat, Kalium Sulfit, Kalsium Benzoit, Kalsium Propionat, Kalsium Sorbat, Natrium Benzoat, Metil-p-hidroksi Benzoit, Natrium Bisulfit, Natrium Metabisulfit, Natrium Nitrat, Natrium Nitrit, Natrium Propionat, Natrium Sulfit, Nisin dan Propil-p-hidroksi-benzoit.
Salah satu bahan tambahan yang diatur adalah nipagin (methyl p-hydroxybenzoate) yang berfungsi sebagai pengawet dengan batas maksimum penggunaan. Selain Nipagin, ada beberapa jenis pengawet lain yang diizinkan BPOM untuk digunakan dalam mie instan misalnya asam benzoat dan propeonat. Methylparaben nama teknisnya methyl p-hydroxybenzoate (disebut juga methyl parahydroxybenzoate) juga terdapat dalam makanan instant dan makanan lainnya. Untuk makanan seperti mie instan, asalkan tidak melebihkan kadar maksimum yang ditentukan Badan POM, yakni 250 mg per kg.
Waspadai pada anak
Sebagai manusia modern di masa depan
takkan pernah terlepas dari pengaruh bahan kimia yang merugikan bagi
organisme hidup. Bahan kimia tersebut dalam jumlah dan jenis tertentu
akan saling berinteraksi dengan suatu cara-cara tertentu untuk
menimbulkan respon pada sistem biologi yang dapat menimbulkan kerusakan
pada sistem biologi tersebut. Salah satu unsur toksikologi adalah
agen-agen kimia atau fisika yang mampu menimbulkan respon pada sistem
biologi. Selanjutnya, cara-cara pemaparan merupakan unsur lain yang
turut menentukan timbulnya efek-efek yang tidak diinginkan ini. Tetapi
mekanisme tubuh sudah demikian sempurna. Berbagai zat berbahaya tersebut
dalam jumlah tertentu dapat dibuang ke luar tubuh manusia melalui organ
hati sebagai alat detoksifikasi tubuh manusia.
Bahaya bahan paparan bahan makanan
tersebut sangat tergantung dari jenis bahan, jumlah paparan dan kondisi
setiap individu. Dalam jumlah tertentu dan bahan tertentu tubuh masih
bisa mentolerir. Tetapi pertanyaannya, seberapa banyak jumlah tertentu
tersebut aman dapat dikonsumsi. Hal ini sulit dijawab karena banyak
faktor yang berpengaruh dan belum ada data ilmiah yang menunjukkan efek
samping jangka panjang bahan pengawet tersebut. Sehingga rekomendasi
untuk tidak mengkonsumsi mi instan berlebihanpun selalu dikemukakan. Hal
ini wajar terjadi karena berbagai konsumsi makanan lainnya pun selalu
ada batas toleransi jumlah yang harus dikonsumsi seperti alkohol, kopi,
atau makanan tertentu lainnya. Dalam jumlah berlebihan makanan tertentu
akan mengganggu tubuh manusia.
Kondisi tubuh setiap individu juga
sangat berpengaruh. Pada manusia sehat pada umumnya mungkin zat pengawet
tersebut tidak terlalu berdampak karena sistem tubuh yang baik dapat
mengeliminasi dan mengeluarkan zat kimia tersebut dalam tubuh. Tetapi
pada penderita tertentu khususnya usia anak, sistem tubuhnya tidak
berjalan sempurna, sehingga zat kimia tersebut sulit dibuang dari tubuh
dan akan tersimpan dan menganggu fungsi tubuh lainnya.
Hal ini harus diwaspai pada usia anak dengan gangguan saluran cerna seperti hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Gangguan hipersensitifitas saluiran cerna ini biasanya terjadi pada penderita alergi makanan, seliak, intoleransi makanan, penderita Autism, ADHD dan berbagai penderita gangguan metabolisme lainnya. Pada gangguan hipersensitivitas saluran cerna tersebut terjadi ketidakmatangan saluran cerna. Pada penderita seperti ini sebaiknya lebih mewaspadai penggunaan bahan pengawet termasuk mi instan. Gejala gangguan hipersensitifitas saluran cerna yang harus diwaspadai adalah gangguan BAB berupa kesulitan atau sering buang air besar. Gejala saluran cerna lainnya adalah mudah muntah, nyeri perut, mulut berbau, sering kembung, sering buang angin, air liur berlebihan, lidah sering kotor dan putih dan berbagai gejala lainnya.
Hal ini harus diwaspai pada usia anak dengan gangguan saluran cerna seperti hipermeabilitas Intestinal atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome. Gangguan hipersensitifitas saluiran cerna ini biasanya terjadi pada penderita alergi makanan, seliak, intoleransi makanan, penderita Autism, ADHD dan berbagai penderita gangguan metabolisme lainnya. Pada gangguan hipersensitivitas saluran cerna tersebut terjadi ketidakmatangan saluran cerna. Pada penderita seperti ini sebaiknya lebih mewaspadai penggunaan bahan pengawet termasuk mi instan. Gejala gangguan hipersensitifitas saluran cerna yang harus diwaspadai adalah gangguan BAB berupa kesulitan atau sering buang air besar. Gejala saluran cerna lainnya adalah mudah muntah, nyeri perut, mulut berbau, sering kembung, sering buang angin, air liur berlebihan, lidah sering kotor dan putih dan berbagai gejala lainnya.
Berbagai berita yang menghebohkan
tersebut sebenarnya bila dikaji dengan fakta ilmiah yang ada tidak
seperti yang dikhawatirkan. Bahaya dan efek samping bagi tubuh akibat
pengaruh methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid bagi tubuh secara
jangka panjang sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Beberapa opini yang menyebutkan bahwa mi instan menyebabkan pemotongan
usus, penyebab kanker dan berbagai hal menyeramkan lainnya tersebut
sampai sekarang juga masih belum ada bukti ilmiah yang menyebutkannya.
Kalaupun opini tersebut muncul mungkin saja hanya berdasarkan hipotesa
beberapa klinisi yang belum terbukti. Hanya terdapat laporan ilmiah bawa
konsumsi berlebihan dapat mengganggu lambung. Fenomena ini juga terjadi
pada fobia pada MSG (monosodium glutamate). Ternyata ketakutan pada MSG
juga sampai 100 tahun penggunaannya di dunia hingga sekarang tidak ada
bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa MSG berbahaya bagi tubuh.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA)
menggolongkan methylparaben dalam kategori Generally Recognized as Safe
(GRAS). Artinya, bahan kimia ini bisa dan aman untuk digunakan pada
sebagian besar produk makanan. Sebagai pengawet makanan, methylparaben
memiliki keunggulan dibanding pengawet lain yaitu lebih mudah larut air.
Oleh karenanya, senyawa ini sering dipakai karena dinilai lebih aman
saat terlibat kontak dengan cairan. Kelebihan lainnya, methylparaben
tidak hanya mencegah pertumbuhan bakteri pada makanan instan dan awetan.
Lebih dari itu, senyawa ini juga bisa membantu menjaga kestabilan rasa
sehingga makanan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Di dalam
tubuh, senyawa ini juga relatif aman karena mudah dimetabolisme. Karena
mudah diserap, baik melalui saluran pencernaan maupun kulit, senyawa ini
juga lebih cepat dikeluarkan dari dalam tubuh.
Bahan pengawet berbahaya ini justru
tampak lebih berisiko sering dijumpai pada mi buatan industri rumahan
karena pengawasannya yang lemah dari pihak berwenang. Pengawet berbahaya
seperti formalin yang mengancam di sekitar masyarakat justru kesannya
sangat diabaikan. Jika kandungan formalin dalam tubuh tinggi, akan
bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga
menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan
kerusakan pada organ tubuh. Formalin merupakan zat yang bersifat
karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker. Beberapa penelitian terhadap
tikus dan anjing pemberian formalin dalam dosis tertentu jangka panjang
secara bermakna mengakibatkan kanker saluran cerna seperti
adenocarcinoma pylorus, preneoplastic hyperplasia pylorus dan
adenocarcinoma duodenum. Penelitian lainnya menyebutkan pengingkatan
resiko kanker faring (tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung) pada
pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan.
Ciri mi yang berbahan pengawet berbahaya
dan bahan pewarna berbahaya adalah biasanya mi tampak berwarna kuning
terang, kenyal dan keras dan awet sampai beberapa hari. Sebakliknya mi
yang tanpa bahan pengawet berbahaya biasanya justru warnanya tidak
menarik, pucat, lembek dan lunak.
Bagaimana menyikapinya
Berbagai berita menghebohkan tersebut
merupakan suatu peringatan bagi manusia modern bahwa ternyata banyak
paparan bahan kimia di sekitar yang harus diwaspadai. Sebenarnya
kewaspadaan ini justru bukan pada mi instan tetapi berbagai paparan
bahan kimia lain yang lebih berbahaya dan tidak terlihat mengancam kita
tanpa disadari yang justru terdapat pada mi home industri lainnya.
Berbagai produk mi lain atau bahan makanan lain yang tidak masuk standar
SNI justru harus menjadi perhatian masyarakat. Karena, kandungan jenis
dan kadar pengawetnya justru tidak diketahui secara pasti.
Manusia modern tidak akan terlepas dari
paparan bahan kimia tersebut dalam berbagai jenis makanannya. Selama
jumlah dan jenis bahan kimia tersebut tidak berbahaya dan dapat
ditoleransi oleh tubuh maka kekwatiran berlebihan tersebut seharusnya
tidak terjadi. Meski data ilmiah belum ada bukti yang menunjukkan bahaya
methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid yang dikatakan aman tersebut
bukan berarti tidak ada bahaya jangka panjang hanya belum diketahui.
Karena keterbatasan data ilmiah tersebut maka sulit menentukan batasan
dosis yang berbahaya yang boleh dikonsumsi bagi manusia.
Justru karena hal tersebut paling tidak
masyarakat dapat menjadikan pelajaran dalam kasus ini. Bahwa meski
bahaya yang mengancam tersebut masih belum kelihatan nyata secara fakta
ilmiah tetapi perilaku konsumsi makanan dengan “back to nature” adalah
paling aman dan ideal bagi kesehatan tubuh. Mi instan yang dikenal enak,
praktis dan murah sulit untuk dilepaskan dari kebiasaan konsumsi
anak-anak. Berdasarkan fakta ilmiah yang ada juga bukan berarti bahwa
harus menghindari konsumsi mi instan. Karena sejauh ini masih belum ada
bukti ilmiah bahaya pengawet tersebut dalam jangka panjang. Tetapi
sebaiknya berbagai lembaga terkait seperti BPOM, lembaga konsumen atau
institusi ilmiah untuk melakukan prioritas penelitian terhadap dampak mi
instan bagi tubuh manusia baik jangka pendek maupun jangka panjang
khususnya terhadap usia anak.
Sebaiknya orangtua harus sangat selektif dalam membeli makanan instan. Pembelian makanan instan sebaiknya harus dipilih yang mencantumkan label ijin BPOM. Dengan data tersebut pihak yang berwenang dalam hal ini BPOM dapat menentukan dengan pasti batas keamanan suatu bahan pengawet yang digunakan. Bila hal itu dilakukan maka anak-anak penggemar mi instan dapat melahap kenikmatan instan tanpa harus dihantui kecemasan pada orangtuanya. Meski pengawet dalam mi instan dalam jumlah tertentu aman, tetapi bila sering konsumsi dalam jumlah besar atau jangka panjang sebaiknya lebih sering tanpa memakai bumbu dalam mi tersebut. Karena justru pengawetnya ada pada bumbu yang terkandung bukan dalam bahan minya. Jadi sebaiknya orangtua memakai bumbu bawang merah, bawang putih dan garam. Jadi tampaknya kekhawatiran masyarakat selama ini yang salah alamat harusnya dapat dikoreksi dan lebih dicermati lagi.
Sebaiknya orangtua harus sangat selektif dalam membeli makanan instan. Pembelian makanan instan sebaiknya harus dipilih yang mencantumkan label ijin BPOM. Dengan data tersebut pihak yang berwenang dalam hal ini BPOM dapat menentukan dengan pasti batas keamanan suatu bahan pengawet yang digunakan. Bila hal itu dilakukan maka anak-anak penggemar mi instan dapat melahap kenikmatan instan tanpa harus dihantui kecemasan pada orangtuanya. Meski pengawet dalam mi instan dalam jumlah tertentu aman, tetapi bila sering konsumsi dalam jumlah besar atau jangka panjang sebaiknya lebih sering tanpa memakai bumbu dalam mi tersebut. Karena justru pengawetnya ada pada bumbu yang terkandung bukan dalam bahan minya. Jadi sebaiknya orangtua memakai bumbu bawang merah, bawang putih dan garam. Jadi tampaknya kekhawatiran masyarakat selama ini yang salah alamat harusnya dapat dikoreksi dan lebih dicermati lagi.
Sumber : health.kompas.com & kompasiana.com